Kisah Sahabat Zaid bin Haritsah
Zaid bin Haritsah adalah salah satu orang pertama yang memeluk Islam. Ia merupakan sahabat sekaligus putera angkat Nabi Muhammad Saw. Zaid juga satu-satunya sahabat Nabi yang namanya diabadikan dalam Al-Quran. Meski Al-Quran mengabadikan peristiwa beberapa sahabat seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatab, tetapi nama mereka tidak disebut langsung.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab [33]: (37).
Zaid pada awal Islam mendapat nisbah nama kepada Nabi, sehingga dia menamai dirinya Zaid bin Muhammad. Namun, Allah di kemudian hari menurunkan wahyu-Nya dalam Surat Al-Ahzab ayat 5 yang menerangkan, anak-anak angkat tetap harus dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya.
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab [33]: (5).
Setelah itu, Zaid mengatakan, “Aku adalah Zaid bin Haritsah.” Hal ini kemudian dianggap menurunkan Zaid dari derajat mulia yang disandangnya sebelumnya. Oleh karena itu, menurut pandangan ulama, Allah memuliakan Zaid dengan menurunkan ayat di atas yang secara eksplisit menyebutkan namanya.
Ada pun pelajaran yang tertuang dalam ayat tersebut adalah tentang masalah keluarga. Urutan kisahnya sebenarnya telah dimulai dari ayat ke-36.
Allah berfirman,“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” QS. Al-Ahzab [33]: (36).
Para ulama tafsir menyebutkan, ayat ini turun atas peristiwa pernikahan Zaid dan Zainab. Di mana Zaid yang hanya mantan budak, dinikahkan oleh Nabi dengan Zainab yang berketurunan terhormat Quraisy. Zainab juga merupakan sepupu Nabi.
Ibnu Katsir menukil dari tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, “Dari Ibnu Abbas, Firman Nya, (Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin…), di mana Rasulullah Saw. pergi untuk mencarikan istri bagi anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Beliau mendatangi Zainab binti Jahsy Al Asadiyah. Beliau melamarnya untuk Zaid.”
Zainab berkata, “Aku tidak mau menikah dengannya.” Kemudian Rasul berkata, “Menikahlah dengannya.”
“Ya Rasulullah, apakah aku harus melawan diriku sendiri?” tanya Zainab.
Ketika mereka berdua berbincang, turunlah ayat tersebut kepada Rasulullah.
Zainab pun berkata, “Apakah engkau ridha dia menikahiku, ya Rasulullah?”
Kemudian Rasul menjawab, “Ya.”
“Kalau begitu aku tidak berani bermaksiat kepada Rasulullah Saw,” tutur Zainab.
Pernikahan pun dilangsungkan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pernikahan tersebut bermahar 10 Dinar, 60 Dirham, sebuah kerudung, satu selimut, sebuah baju besi, 50 Mud makanan dan 10 Mud kurma. Mahar yang tidak kecil untuk ukuran orang miskin. Tetapi ini setara dengan Zainab yang berasal dari kalangan Quraisy.
Kurang lebih setahun lamanya pernikahan itu berjalan. Zaid mencoba menjadi pemimpin rumah tangga. Zainab pun mencoba untuk menjadi istri yang baik. Lalu badai itu pun datang tak tertahankan.
Zaid memendam bara dalam hati. Al Alusy dalam tafsirnya menjelaskan, “Zainab bin Jahsy berkarakter keras. Dia terus membanggakan kehormatan dirinya di atas Zaid. Zaid mendengar hal-hal yang tidak disukainya darinya. Maka suatu hari, Zaid mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Zainab berlisan keras terhadapku dan aku ingin menceraikannya.”
Kemudian kisah itulah yang diabadikan dalam Surat Al-Ahzab ayat ke-37.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab [33]: (37).
Zaid pada awal Islam mendapat nisbah nama kepada Nabi, sehingga dia menamai dirinya Zaid bin Muhammad. Namun, Allah di kemudian hari menurunkan wahyu-Nya dalam Surat Al-Ahzab ayat 5 yang menerangkan, anak-anak angkat tetap harus dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya.
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab [33]: (5).
Setelah itu, Zaid mengatakan, “Aku adalah Zaid bin Haritsah.” Hal ini kemudian dianggap menurunkan Zaid dari derajat mulia yang disandangnya sebelumnya. Oleh karena itu, menurut pandangan ulama, Allah memuliakan Zaid dengan menurunkan ayat di atas yang secara eksplisit menyebutkan namanya.
Ada pun pelajaran yang tertuang dalam ayat tersebut adalah tentang masalah keluarga. Urutan kisahnya sebenarnya telah dimulai dari ayat ke-36.
Allah berfirman,“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” QS. Al-Ahzab [33]: (36).
Para ulama tafsir menyebutkan, ayat ini turun atas peristiwa pernikahan Zaid dan Zainab. Di mana Zaid yang hanya mantan budak, dinikahkan oleh Nabi dengan Zainab yang berketurunan terhormat Quraisy. Zainab juga merupakan sepupu Nabi.
Ibnu Katsir menukil dari tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, “Dari Ibnu Abbas, Firman Nya, (Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin…), di mana Rasulullah Saw. pergi untuk mencarikan istri bagi anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Beliau mendatangi Zainab binti Jahsy Al Asadiyah. Beliau melamarnya untuk Zaid.”
Zainab berkata, “Aku tidak mau menikah dengannya.” Kemudian Rasul berkata, “Menikahlah dengannya.”
“Ya Rasulullah, apakah aku harus melawan diriku sendiri?” tanya Zainab.
Ketika mereka berdua berbincang, turunlah ayat tersebut kepada Rasulullah.
Zainab pun berkata, “Apakah engkau ridha dia menikahiku, ya Rasulullah?”
Kemudian Rasul menjawab, “Ya.”
“Kalau begitu aku tidak berani bermaksiat kepada Rasulullah Saw,” tutur Zainab.
Pernikahan pun dilangsungkan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pernikahan tersebut bermahar 10 Dinar, 60 Dirham, sebuah kerudung, satu selimut, sebuah baju besi, 50 Mud makanan dan 10 Mud kurma. Mahar yang tidak kecil untuk ukuran orang miskin. Tetapi ini setara dengan Zainab yang berasal dari kalangan Quraisy.
Kurang lebih setahun lamanya pernikahan itu berjalan. Zaid mencoba menjadi pemimpin rumah tangga. Zainab pun mencoba untuk menjadi istri yang baik. Lalu badai itu pun datang tak tertahankan.
Zaid memendam bara dalam hati. Al Alusy dalam tafsirnya menjelaskan, “Zainab bin Jahsy berkarakter keras. Dia terus membanggakan kehormatan dirinya di atas Zaid. Zaid mendengar hal-hal yang tidak disukainya darinya. Maka suatu hari, Zaid mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Zainab berlisan keras terhadapku dan aku ingin menceraikannya.”
Kemudian kisah itulah yang diabadikan dalam Surat Al-Ahzab ayat ke-37.
Komentar
Posting Komentar